Oleh : Aisyah Fad
Sebuah angin segar bagi saya! Sejak saat itu saya rasakan
bahasa Indonesia adalah kemerdekaan. Saya tidak perlu lagi berpikir
dengan siapa saya berhadapan, saya bisa merdeka dan leluasa untuk
mengatakan apapun.
Saya mengenal bahasa Indonesia pertama kali, ketika masuk sekolah
dasar. Saya suka berbahasa Indonesia. Kenapa?
Karena bahasa Indonesia mampu menutupi kekurangan saya dalam berbahasa
Jawa. Saya tidak perlu memilah-milah layaknya bahasa jawa. Saya tidak
perlu berpikir, kalimat yang saya rangkai akan saya tujukan kepada
siapa, dan harus memakai bahasa apa, kromo inggil, kromo madya atau ngoko.
Keluarga saya adalah keluarga jawa kental yang mewajibkan anak-anaknya
menggunakan krama inggil kepada orang tua. Tidak hanya hanya kepada
orang tua saya, tetapi kepada siapa pun seumur dengan orang tua.
termasuk kepada tukang becak, tukang batu, juga kepada penjual tahu
tepo, mereka selalu menegur jika saya asal berbahasa (ngoko).
Suatu ketika saya berlibur ke rumah bulek (adik ibu). Bulek
saya seorang perawat yang sangat halus budi bahasanya. Mengetahui saya
megap-megap dalam berbahasa jawa halus, bahkan sering salah dalam
menerapkannya, bulek memberikan solusi, daripada menggunakan salah-salah, lebih baik berbahasa Indonesia dengan benar!
Sebuah angin segar bagi saya! Sejak saat itu saya rasakan bahasa Indonesia adalah kemerdekaan. Saya tidak perlu lagi berpikir dengan siapa saya berhadapan, saya bisa merdeka dan leluasa untuk mengatakan apapun.
Itu adalah sepenggal cerita lalu, tentang bahasa yang memerdekakan saya.
Dan hari ini saya mengikuti lomba penulisan bahasa Indonesia yang
diadakan oleh Kompasiana. Hari yang membuat saya membaca banyak sekali
permasalahan tentang bahasa. Hari yang melemparkan saya pada
kekhawatiran dan kebaggaan tentang bahasa, hingga akhirnya melemparkan
saya pada sebuah kesadaran baru.
Hari ini saya membaca,....
Bagaimana pada tahun 2010 para elite politik tidak bangga dengan bahasa
yang dimilikinya, mereka menggunakan bahasa Inggris dalam pidatonya,
padahal jelas sekali bahwa di dalam undang-undang dasar 1945, bahasa
resmi yang digunakan dalam penyelenggaraan negara adalah bahasa
Indonesia. Bahkan saya merasakan kesedihan sastrawan paripurna atau
Ajip Rosidi ketika beliau mengatakan "Mereka (Elite politik) minder
atau takut dianggap bodoh ketika menyampaikan pikirannya dengan
bahasanya sendiri!"
Saya juga merasakan kekecewaan dari Sutan takdir Alisyabana, ketika
usulnya tentang dewan penerjemah tidak diindahkan pemerintah. Bahkan
saya meraba emosi beliau ketika mengatakan "Kalau begini situasinya,
maka lebih baik bahasa Inggris dijadikan saja bahasa nasional di
Indonesia. Ini supaya bangsa Indonesia bisa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan."
Sedih! Saya rasakan kekhawatiran beliau. Kekawatiran akibat dipakainya
bahasa Inggris dalam mata pelajaran di sekolah (RSBI). Semua
menunjukkan betapa besar kecintaan beliau pada bahasa.
Tetapi saya bangga ketika membaca tulisan Ary Subagya, Dosen Fakultas
Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dimana bahasa Indonesia
mencatat pertumbuhan lema yang mengesankan, pada tahun 1953, dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia terdapat 23000-lema. Pada 1976 (23 tahun
kemudian) berdasar Kamus yang di terbitkan Pusat Bahasa bertambah
1000-an lema. Pada tahun 1988 berdasar KBBI lema bertambah 38000-an.
Pertambahan lema dari 1000-an menjadi 38000-an, sangat mengesankan, dan
fantastis.
Meski beliau mengkhawatirkan sifat terbuka bahasa Indonesia ini. Saya
justru berpikir sebaliknya, bahwa tanda hidup adalah bergerak tumbuh
dan berkembang. Artinya pertumbuhan lema yang begitu besar menandakan bahasa Indonesia kita hidup! Jadi
selama mampu mengatur, bukan menjadi masalah jika 9 dari 10 kata bahasa
Indonesia adalah asing. Yang seharusnya dilakukan adalah membingkai
semua kata yang terdapat dalam kamus awal, sehingga beberapa puluh
tahun ke depan, anak cucu kita bisa membedakan mana yang merupakan
bahasa asli.
Saya juga berbahagia mengetahui beberapa perguruan tinggi negeri
memberikan beasiswa bagi warga asing yang ingin mempelajari bahasa
Indonesia. Sebuah lompatan yang sangat bijaksana. Lebih berbahagia
lagi, ketika mereka sangat antusias dalam mempelajarinya, seperti yang
ditulis oleh seorang kompasioner. Ini membuktikan bahasa Indonesia
mempunyai tentara, dan mempunyai daya tarik
Tetapi saya juga terkejut melihat sedemikian parahnya bahasa alay yang hinggap pada remaja tanggung. Meskipun sebelumnya saya sudah sering membaca tulisan alay di Facebook maupun twetter, tetapi tetap saja saya mengelus dada.
Bagaimana pendapat Anda tentang ini?
qOh g Mo iDop d LAM kmNfqAn....(aku gak mau hidup dalam kemunafikan)
pGEn qOh tO bLanK (pengen aku tuh bilang)
Aquwh p3NgenD n0Nt0n c4m4 qmuh. 94x b0l3h c4m4 p42h . 61m4n4h eaa?! t3t3p c3munggudh
(Aku pengen nonton sama kamu, gak boleh sama papa. Gimana ya? Tetap semangat!)
Betapa mereka tidak memberikan penghargaan atas jerih payah perumus
KBBI. Termasuk usaha para guru yang mengasuh mereka dalam berbahasa
Indonesia.
Namun saya sedikit lega ketika membaca tulisan seorang kompasioner
(Djiwenk), bahwa fenomena alay tidak hanya terjadi di Indonesia, di
Arab pun fenomena itu terjadi, ini contohnya:
huruf ع akan di ganti dengan angka 3 3ain maksudnya (mata)
3ami maksudnya (pamanku)
3ajeeb maksudnya (enak)
3mer (nama orang Amer)
huruf ط diganti dengan angka 6. ada juga yang mengantikan angka 6 ini sebagai huruf ت
6reeq maksudnya (jalan)
6buq maksudnya ( bata)
Artinya gejala alay adalah gejala normal yang bisa terjadi dimana pun.
Gejala bahasa yang timbul pada anak-anak tanggung yang sedang mencari
identitas. Gejala dari anak-anak yang mempunyai waktu lebih dan
membutuhkan penyaluran.
Satu lagi, berkesan! Hari ini saya tahu bahwa bahasa Indonesia sangat
menarik. Saya berharap setiap anak Indonesia mampu tertarik kepada
bahasa ibunya, semenarik iklan MU yang diperankkan oleh Ryan Giggs,
Edwin van der Sar, Wayne Rooney dkk. Iklan yang meskipun telah 2 tahun
berlalu, masih melekat dalam ingatan saya. Iklan yang mengingatkan saya
dalam pembelajaran bahasa Indonesia "Ini ibu Budi". Ya! Iklan yang
mampu membuat tersenyum ketika para idola melafalkan "Budi bermain
bola".
Saya optimis, selama ada sastrawan yang memiliki kepedulian, selama
para guru besar bahasa mau turun tangan, selama kegiatan berbahasa
selalu diupayakan dan bulan bahasa di semarakkan, bahasa Indonesia akan
selalu hidup. Tidak perduli berapa ragam bahasa asing yang masuk.
Bahasa Indonesia akan selalu hidup tumbuh dan berkembang.
Sehidup kesadaran baru yang terbangun hari ini, bahwa saya harus mewariskan kecintaan saya terhadap bahasa.
Jika tidak saya sebagai warga siapa lagi?
Jika tidak sekarang kapan lagi?
*** Naskah ini adalah penggembira untuk Kompasiana dalam rangka bulan bahasa. Dengan tema "Bahasa dan Kita" ( September 2012)
Pemenang I adalah Edy Roesdiono karyanya bisa dilihat di sini .
Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar